Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Harus Memenuhi Unsur Keadilan
ARTIKEL : Upi Fitriyanti, S.P.
Jabatan : Asisten Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Lampung, Upi Fitriyanti, S.P.
Lampung ,(Potretperistiwa.com) - Pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia, hal ini tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945. Maka setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan terkait pendidikan seyogyanya tidak menciderai hak dasar warga negara terhadap pendidikan. Indonesia sebagai negara demokratis, maka dalam melakukan pengambilan kebijakan perlu melibatkan masyarakat, salah satunya dengan melakukan tahapan uji publik terhadap kebijakan yang akan dipilih dan putuskan.
Pada tanggal 5 Maret 2019 Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung (Ombudsman) menjadi salah satu peserta dalam kegiatan Uji Publik untuk 2 (dua) Rapergub yaitu Rapergub tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendanaan Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Menengah Negeri dan Satuan Pendidikan Khusus Negeri dan Rapergub Pungutan Biaya Pendidikan Pada Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah Luar Biasa Provinsi Lampung.
Pada saat kegiatan itu Ombudsman telah memberikan banyak masukan terkait Rapergub tersebut, informasi terakhir yang Ombudsman terima bahwa Rapergub tersebut untuk sementara tidak dilanjutkan pembahasannya dikarenakan surat keberatan dari Inspektorat Provinsi Lampung. Selain itu Ombudsman juga termasuk pihak yang keberatan terhadap isi Rapergub tersebut, Ombudsman meminta agar memperhatikan peraturan perundang-undangan diatasnya.
Sebenarnya bukan kali ini saja Ombudsman memberikan saran terkait pungutan dan sumbangan biaya pendidikan, sebelumnya pada tanggal 5 September 2017 telah dilakukan Diskusi Panel oleh Pengurus Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA-SMK Kota Bandar Lampung bertempat di SMA YP Unila, saat itu Ombudsman juga sudah pernah mengingatkan para Kepala Sekolah untuk berhati-hati dalam menarik pungutan dan sumbangan biaya pendidikan.
Kondisi Satuan Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, demikian definisi pendidikan yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dari definisi tersebut maka dalam pemenuhan hak dasar warga negara terhadap pendidikan perlu diupayakan secara sadar dan terencana, termasuk didalamnya dalam rencana anggaran untuk pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan penyusunan rencana strategis oleh penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan yang digunakan sebagai "kompas" dalam mengambil kebijakan terkait bidang pendidikan.
Beberapa tahun yang lalu Kemendiknas melakukan revitalisasi tugas komite sekolah dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan berdasarkan prinsip gotong royong, sehingga mencabut Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dan digantikan dengan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Hal ini merupakan langkah maju yang harus diapresiasi, mengingat pada saat itu terjadi gejolak dari beberapa kelompok dan beberapa daerah yang menginginkan agar keberadaan komite sekolah dihapuskan. Salah satu langkah revitalisasi yang dilakukan adalah dengan mencegah adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan Komite Sekolah, maka dalam Permendibud 75/2016 telah diatur bahwa anggota komite sekolah tidak boleh berasal dari pendidik dan tenaga kependidikan dari Sekolah yang bersangkutan, penyelenggara Sekolah yang bersangkutan, pemerintah desa, forum koordinasi pimpinan kecamatan, forum koordinasi pimpinan daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau pejabat pemerintah/pemerintah daerah yang membidangi pendidikan.
Kondisi satuan pendidikan yang masih membutuhkan peningkatan sarana, prasarana serta fasilitas sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas peserta didik yang dihasilkan, sering sekali menjadi alasan untuk melibatkan masyarakat dalam hal ini Wali Murid untuk berpartisipasi dalam pendanaan pendidikan. Namun sayangnya hal ini tidak diikuti dengan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan dan pertanggungjawabannya yang kemudian terjadinyapro dankontrasetiap kali sekolah akan melakukan pungutan atau sumbangan dari Wali Murid.
Permasalahan seperti ini sebenarnya dapat dicegah oleh satuan pendidikan dengan menyusun rencana strategis sehingga Wali Murid atau Komite Sekolah mengetahui secaragamblangmana biaya pendidikan atau kebutuhan sekolah yang sudah dibiayai oleh Pemerintah (baik pemerintah pusat dan daerah) dan mana biaya pendidikan atau kebutuhan sekolah yang tidak dibiayai oleh Pemerintah, maka kebutuhan yang belum dibiayai itulah yang dapat dicarikan solusi dengan cara melakukan pungutan atau sumbangan kepada peserta didik atau wali.
Pendanaan Pendidikan
Pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, masyarakat yang dimaksud adalah penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat, peserta didik, orang tua atau wali peserta didik atau pihak lain yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan (Pasal 2 PP 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan).
Maka dengan sistem gotong royong yang digunakan, pada hakikatnya masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam pendanaan pendidikan. Namun dalam pengelolaannya terdapat syarat dan ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini yang harus benar-benar dipahami oleh Satuan Pendidikan ataupun Komite Sekolah.
Tanggungjawab bersama ini memiliki batasan, khususnya dalam penarikan biaya pendidikan kepada peserta didik atau orang tua/wali. Biaya pendidikan meliputi biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan dan biaya pribadi peserta didik, untuk biaya pendidikan yang sudah ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maka tidak dapat dimintai lagi dalam bentuk sumbangan atau pungutan kepada peserta didik atau orang tua/wali. Hal itu tentunya harus disesuaikan dengan batasan-batasan mana yang pengelolaannya dapat dilakukan oleh satuan pendidikan dan mana yang dilakukan oleh komite sekolah.
Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan
Terkait pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Dalam Permendikbud tersebut dijelaskan bahwa pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.
Sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya. Namun sayangnya untuk satuan pendidikan menengah belum ada Permendikbud yang mengatur.
Sesungguhnya tidak ada larangan untuk melakukan pungutan atau sumbangan yang bersumber dari masyarakat dalam hal ini peserta didik atau orang tua/wali selama syarat dan ketentuannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 PP 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Maka penting dalam menyusun kebijakan tersebut melibatkan masyarakat dalam hal ini orang tua/wali.
Pungutan oleh satuan pendidikan dalam rangka memenuhi tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau walinya wajib memenuhi ketentuan antara lain didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan, dana yang diperoleh disimpan dalam rekening atas nama satuan pendidikan, dana yang diperoleh dibukukan secara khusus oleh satuan pendidikan terpisah dari dana yang diterima dari penyelenggara satuan pendidikan, tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis, menerapkan sistem subsidi silang yang diatur sendiri oleh satuan pendidikan.
Inisiasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung melalui Rapergub terkait biaya pendidikan dapat dipahami sebagai upaya untuk memiliki dasar hukum dalam proses melibatkan partisipasi masyarakat dalam memenuhi biaya pendidikan yang bersumber dari masyarakat.
Namun sebelum kebijakan itu digulirkan perlu dilakukan kajian secara mendalam, uji publik dengan melibatkan masyarakat termasuk didalamnya orang tua/wali murid dan/atau komite sekolah, serta berkoordinasi kepada pihak-pihak terkait termasuk didalamnya Kementerian Pendidikan, agar saat kebijakan tersebut sudah diputuskan tidak menciderai hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. (Redaksi/rils).
Sumber Realise. Setwil FPII Lampung
Posting Komentar