Dispensasi Perkawinan Anak Dibawah Umur


Studi Kasus: Putusan Pengadilan Agama Siak Nomor 45/pdt.p/2021/PA.Sak Atas Pemberian Dispensasi Perkawinan anak dibawah umur


Oleh : Taufik Institut Agama Islam Edi Haryono Madani Riau (IAI EHMRI), Jl. Duri  Pekanbaru Km. 77 KANDIS, KAB. SIAK, E-mail: taufiklife@gmail.com


Riau, (potretperistiwa.com) - Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dan hidup berdampingan dalam aktifitas sehari-harinya, bermasyarakat dan membaur kepada semua orang. Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, salah satu contoh hidup bersama ialah dengan menikah untuk membentuk keluarga. Untuk meresmikan kedua insan laki laki dan perempuan tersebut maka melalui perkawinan. Perihal perkawinan atau pernikahan sebenarnya sudah ada sejak dahulu pada zaman nabi sudah ada ketentuanya. Dalam agama Islam sudah diatur tentang hal perkawinan yang bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dunia maupun akhirat sesuai dengan anjuran dan syariat Islam atas ridho Allah SWT.


Menurut Prof. Subekti perkawinan merupakan ikatan pertalian yang sah bagi seorang laki laki dengan seorang perempuan untuk jangka waktu yang lama. Dalam KHI perkawinan ialah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan mematuhinya merupakan sebuah ibadah (Kompilasi Hukum Islam pasal 2). Sejalan dengan pendapat Sayyid Sabiq mengatakan  perkawinan merupakan cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.


Perkawinan merupakan sunnah nabi, yaitu mencontoh tindak laku Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, bagi pengikut Nabi Muhammad SAW yang baik maka mereka harus menikah. Selain mencontoh tindak laku Nabi Muhammad SAW, perkawinan juga merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani. 


Dalam hal pencatatan perkawinan, fiqih tidak pernah dijumpai adanya batasan usia menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang negara muslim tidak menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawianan (Ahmad Tholabi Kharlie, 2013: 200).


Suatu pernikahan adalah sah menurut hukum Islam, jika memenuhi seluruh rukun dan syarat pernikahan. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan adanya ijab dan qabul.


Adapun syarat-syarat bagi calon mempelai pria maupun wanita yaitu beragama Islam, laki-laki atau perempuan, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan diantara keduanya. Selain persyaratan tersebut di atas, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan pada pasal 7 ayat 1 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Ketentuan batas umur didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Hal ini sejalan dengan penekanan undang-undang perkawinan, bahwa calon suami istri harus telah matang jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat (Zainuddin Ali, 2006: 12).


Indonesia termasuk negara yang cukup memberikan toleransi perkawinan pada usia muda. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan negara - negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 tahun bagi laki-laki adalah Aljazair dan Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi laki-laki, hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Lebanon, Libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan dan Suriah. Sisanya adalah dibawah 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17 tahun dan yang paling rendah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan (Ahmad Tholabi Kharlie, 2013: 202).


Walaupun dalam Al-Quran secara konkrit tidak menentukan batas usia perkawinan, namun UU Perkawinan menentukan batasan usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan dan sebagai salah satu syarat perkawinan. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 7 ayat (1). Meski telah ditentukan batas umur minimal, tampaknya undang-undang memperbolehkan penyimpangan terhadap syarat umur tersebut, melalui Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan. Sayangnya undang-undang tidak menyebutkan syarat-syarat atau alasan-alasan dalam pengajuan dispensasi, seperti hubungan luar nikah yang sangat dilarang. Dengan adanya aturan penyimpangan yang tertera pada pasal 7 ayat (2) membuka peluang masyarakat untuk melakukan bentuk penyelewengan berupa perkawinan di bawah umur dengan berbagai alasan. Bahkan yang sering terjadi adalah perkawinan di bawah umur dikarenakan hamil di luar perkawinan atau lebih tepatnya zina. Selain itu, ada pula alasan melakukan perkawinan di bawah umur dikarenakan takut atau khawatir zina. Apapun alasannya, hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat adalah dampak dari perkawinan di bawah umur tersebut. Kematangan fisik dan mental belum diperoleh oleh pasangan perkawinan di bawah umur. Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebih sama. Pada Pasal 15 KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi perkawinan di bawah umur. Bedanya, di dalam KHI disebutkan sebuah alasan mengapa dispensasi itu bisa diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga (Kompilasi Hukum Islam Pasal 15). Kenyataan di lapangan menunjukkan bukannya melahirkan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan di bawah umur justru banyak berujung pada perceraian.


Oleh karena pernikahan anak adalah persoalan yang kompleks, sebagaimana penulis gambarkan di atas, maka pengadilan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menilai mendesak atau tidaknya pernikahan itu untuk dilangsungkan, harus mempertimbangkan berdasarkan fakta hukum yang digali dari berbagai aspek pertimbangan, apalagi saat ini berdasarkan Revisi UUP, usia perkawinan laki-laki dan perempuan sudah disamakan menjadi 19 (sembilan belas) tahun. Penulis memandang bahwa pemeriksaan perkara dispensasi kawin di Pengadilan Agama adalah persoalan yang menarik, maka penulis mencoba untuk menulis persoalan tersebut dalam penelitian yang berjudul “Dispensasi Perkawinan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Agama Siak Nomor 45/Pdt.P/2021/Pa.Sak Atas Pemberian Dispensasi Perkawinan Anak Dibawah Umur).


B. KONSEP TEORITIS

Konsep Dasar Perkawinan

Perkawinan merupakan perbuatan yang penting dalam kehidupan manusia, karena merupakan bentuk pergaulan hidup manusia dalam lingkungan masyarakat sosial yang terkecil, tetapi juga lebih dari itu bahwa perkawinan merupakan perbuatan hukum dan perbuatan keagamaan. Negara mempunyai kepentingan pula untuk turut mencampuri urusan masalah perkawinan dengan membentuk dan melaksanakan perundang-undangan tentang perkawinan (Rosnidar Sembiring, 2016: 42). Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) memberikan pengertian bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).


Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang sakral yang dalam istilah agama disebut dengan pengucapan sumpah pernikahan yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur yang ditandai dengan pelaksanan antara wali nikah dengan mempelai pria dengan tujuan membentuk suatu rumah tangga yang bahagia sejahtera dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ridwan Piliang, 2014: 5).


Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang mempengaruhi status hukum orang yang bersangkutan. Menurut R. Subekti mengatakan perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Pada pendapat lain, Scholten mendefinisikan perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara (I Ketut Oka Setiawan, 2010: 59).


Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan perihal perkawinan diatur dalam Buku I KUH Perdata. Satu pasal pun tidak ada yang menjelaskan tentang kata perkawinan itu kecuali menyebutkan bahwa undang-undang memandang perihal perkawinan hanya dalam hubungan hubungan perdata (pasal 26 KUH Perdata). 


Perkawinan di Bawah Umur

Mengutip Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk kehidupan yang kekal, sehingga membutuhkan kesiapan mental, fisik, finansial dan tekad yang kuat untuk terus hidup bersama pasangan. Oleh karena itu, dibutuhkan kematangan jiwa dan raga dalam mencapai kesiapan tersebut. Kematangan seringkali diidentikkan dengan umur. Namun sebenarnya dalam Islam pun juga tidak ditemukan ketentuan al-Quran secara tekstual yang menjelaskan batasan usia perkawinan. Yang lazim digunakan dalam hukum Islam untuk menggambarkan kedewasaan seseorang adalah konsep aqil, baligh, mumayyiz dan rusyd. Konsep-konsep tersebut pun tidak menyebutkan umur dengan angka yang pasti (Zulfiani, 2017: 215). Sehingga persoalan ini diambil alih oleh para fuqaha dan pakar muslim lainnya untuk menentukan batasan usia perkawinan disesuaikan dengan masing-masing kondisi sosiologis, fisiologis dan geografis masyarakat di sekitar mereka.


Penentuan batas umur bagi seseorang untuk melakukan perkawinan adalah persoalan yang penting sebab dengan batas umur tersebut seseorang dinilai telah matang jiwa raganya untuk menghadapi mahligai rumah tangga. Tidak adanya ketentuan yang pasti tentang batas umur perkawinan ini menjadikannya sebagai persoalan yang bersifat ijtihadiyyah, sehingga Negara berhak menentukan batas umur perkawinan atas dasar kemaslahatan. Mengutip pendapat Muhammad Ibn Umar Nawawi al-Jawy, aturan yang dibuat oleh pemerintah termasuk hukum yang bersifat ijtihadiyyah. Hukum asalnya adalah mubah yakni tidak terdapat larangan maupun perintah untuk menjalankannya. Akan tetapi, jika aturan tersebut didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan maka wajib hukumnya untuk ditaati dan dijalankan oleh rakyat.


Adapun batas usia perkawinan telah ditetapkan secara jelas dalam UU Perkawinan. Sebelumnya batas usia perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki. Kemudian diubah dan disetarakan menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun wanita melalui UU No. 16 Tahun 2019. Hal urgen yang mendorong terjadinya perubahan ketentuan tersebut ialah pembedaan batas umur antara laki-laki dan perempuan untuk melakukan perkawinan yang dianggap tidak konstitusional karena melanggar asas kesamaan di mata hukum pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Pembedaan batas umur tersebut awalnya ditentukan berdasarkan tingkat keumuman kematangan biologis antara laki-laki dan wanita. Namun, bila ditarik ke masa sekarang, hal tersebut justru merefleksikan adanya diskriminasi dan penghilangan hak-hak dasar serta pengabaian terhadap kesehatan mental maupun fisik wanita. Zaman yang semakin maju mendorong wanita untuk melakukan segala bentuk produktivitas dan meraih pendidikan yang layak. Wanita memiliki hak-hak dasar yang sama dengan laki-laki seperti pendidikan, sosial, hak sipil, hak ekonomi dan hak-hak konstitusional lainnya sebagai warga Negara (Moch Nurcholis, 2019: 4). Dalam penjelasan UU No. 16 Tahun 2019 juga dinyatakan semangat perubahan terhadap batas umur perkawinan pada Pasal 7 ayat (1) semata dilakukan agar pihak yang akan melangsungkan perkawinan benar-benar matang jiwa dan raganya sehingga tidak terjadi perceraian dan dapat melahirkan keturunan yang berkualitas. Kenaikan batas umur perkawinan ini diharapkan juga mampu menekan laju kelahiran menjadi lebih rendah, mengurangi resiko kematian ibu dan bayi, terpenuhinya hak-hak anak agar tumbuh kembangnya lebih optimal dengan pendampingan penuh dari orang tua serta memberi kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya kepada anak.


Perkawinan yang dilakukan di bawah batas umur yang telah ditentukan merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan UU Perkawinan yang ada. Perkawinan inilah yang disebut dengan perkawinan di bawah umur atau juga biasa disebut dengan perkawinan dini. Secara rinci, berikut beberapa dampak yang dapat terjadi bagi pelaku perkawinan di bawah umur:


Dampak pendidikan

Anak yang menikah di usia dini akan kehilangan hak untuk mengenyam pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 19 tahun 2016 tentang Program Indonesia Pintar pada Pasal 2 huruf a memberikan ketentuan bahwa program wajib belajar ditambah menjadi 12 tahun. Bila diperkirakan, wajib belajar selesai kurang lebih pada usia 19 tahun. Sehingga anak yang menikah pada umur kurang dari 19 tahun kemungkinanbesar akan putus sekolah atau memang tidak bersekolah lagi. Selain itu, motivasi belajar seorang anak juga akan mengendur tatkala ia dihadapkan dengan segala kewajiban untuk mengurus rumah tangga.


Dampak biologis dan kesehatan

Secara biologis, alat reproduksi anak di bawah umur masih dalam tahap menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seksual, hamil hingga melahirkan. Kehamilan pada usia muda memiliki berbagai resiko antara lain resiko keguguran yang lebih besar, rentan terhadap tekanan darah tinggi dan anemia, potensi lahirnya bayi secara premature, bayi cacat, lahirnya bayi dengan berat badan rendah. Hal tersebut jika dipaksakan juga akan mengakibatkan trauma dan depresi, infeksi pada kandungan, terjadinya pendarahan saat persalinan hingga beresiko terhadap kematian ibu dan bayi yang dikandung. Selain itu, hubungan seks yang bermula pada usia di bawah 15 tahun juga meningkatkan resiko kanker serviks sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang berusia matang (Meitria Syahadatina Noor, 2018:120).


Dampak psikologis

Pasangan di bawah umur umumnya kurang memiliki kesiapan mental dalam menghadapi peran dan permasalahan rumah tangga. Hal inilah yang menjadi pemicu terjadi cekcok, pertengkaran hingga kekerasan dalam rumah tangga, bahkanperceraian. Mental yang tidak siap juga dapat menimbulkan perasaan depresi, trauma serta gangguan kecemasan, misalnya karena ketidaksiapan anak dalam melakukan hubungan seksual yang akhirnya menimbulkan rasa trauma, ketidaksiapan dalam memenuhi berbagai macam kebutuhan rumah tangga yang mengakibatkan stress dan depresi, dan lain sebagainya.


Dampak ekonomi

Anak di bawah umur yang mayoritas belum memiliki penghasilan yang mapan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak menjadi salah satu permasalahan bagi kehidupan rumah tangga. Kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi memicu konflik antar pasangan. Bahkan beberapa pasangan muda masih menggantungkan ekonomi kepada orang tua mereka. Akibatnya orang tua menanggung beban ganda karena selain harus menghidupi keluarganya sendiri, juga harus menghidupi anggota keluarga baru. Hal ini mengakibatkan kemiskinan yang semakin terstruktur. Masalah ekonomi juga seringkali menjadi penyebab dari perceraian pasangan (Djamilah dan Reni Kartikawati, 2014: 13-14).


Dampak sosial

Dari segi sosial, perkawinan di bawah umur juga berpotensi meningkatkan angka perceraian. Alasan yang digunakan beragam meliputi ekonomi, percekcokan, hingga perselingkuhan. Hal ini terjadi karena pasangan muda memiliki emosi yang masih labil dan pola pikir yang belum matang sehingga hal-hal kecil terkadangdapat memicu pertengkaran hebat. Selain itu, hal tersebut juga dapat memicu adanya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dimana yang banyak menjadi korban adalah istri akibat relasi yang tidak seimbang sebagai bentuk budaya patriarki yang bias gender.

Dampak-dampak tersebut di atas akan menjadi sangat kompleks jika perkawinan di bawah umur terus menerus dibiarkan terjadi. Negara akan kehilangan generasi-generasi mudanya bahkan menambah generasi yang kurang berkualitas yang lahir dari perkawinan anak di bawah umur jika Negara tidak segera membuat regulasi yang tepat dan efektif untuk menghilangkan praktek perkawinan ini.


Dispensasi Perkawinan

Secara etimologis, dispensasi dapat didefinisikan sebagai pengecualian dari aturan yang bersifat umum untuk suatu kondisi yang bersifat khusus, dapat pula diartikan sebagai pembebasan dari suatu kewajiban/keharusan atau larangan. Maka dapat dipahami bahwa dispensasi kawin ini adalah aturan yang berlaku khusus karena kondisi tertentu yang membuat seseorang tidak melakukan perkawinan sesuai dengan batas umur yang telah ditentukan.


Ketentuan pada pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa batas usia perkawinan antara pria dan wanita saat ini telah setara yakni 19 tahun. Namun sayangnya, kesempatan mengajukan dispensasi kawin masih tertuang dalam Pasal tersebut. Hal ini tentu saja masih memberi celah bagi perkawinan anak di bawah umur tanpa melihat apa alasan di baliknya.


Berdasarkan pengamatan penulis dari beberapa penelitian yang telah ada sebelum adanya Revisi UU Perkawinan dan dari beberapa putusan Pengadilan Agama di beberapa kota/kabupaten setelah adanya Revisi UU Perkawinan yang Penulis lihat di laman Direktori Putusan Mahkamah Agung, alasan-alasan yang digunakan dalam pengajuan dispensasi rata-rata hampir sama. Berikut beberapa alasan yang biasa digunakan dalam pengajuan dispensasi kawin menurut Khoiruddin Nasution (Khoiruddin Nasution, 2013:286): (1) Faktor dari anak, seperti; anak yang putus/tidak sekolah, terjadi hubungan suami istri, hamil di luar nikah. (2) Faktor dari luar anak, seperti; kekhawatiran melanggar ajaran agama/ terjadinya maksiat, faktor adat dan budaya setempat, faktor ekonomi (Elsy Maisany, 2018).


Beberapa faktor yang memicu banyaknya permohonan dispensasi di atas merupakan wujud dari permasalahan kompleks yang dilatarbelakangi oleh aspek moralitas, agama, adat/budaya hingga problem kemiskinan.



C. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.


Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan Yuridis Normatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan studi kepustakaan. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Analisis.


D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Duduk Perkara

Bahwa, dalam surat permohonannya yang terdaftar di Register Kepaniteraan Pengadilan Agama Siak Sri Indrapura Nomor 45/Pdt.P/2021/PA Sak tanggal 7 Juni 2021, Para Pemohon mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut :


Bahwa, Para Pemohon hendak menikahkan anak ara pemohon dengan melaksanakan akad nikah dan dicacatkan di hadapan Pegawai pencatat Nikah Kantor urusan Agama Kecamatan Minas Kabupaten Siak dalam waktu segera mungkin;


Bahwa, syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku telah terpenuhi kecuali syarat usia bagi anak Para Pemohon belum mencapai umur 19 tahun, namun pernikahan tersebut sangat mendesak untuk tetap dilangsungkan; 


Bahwa, alasan Para Pemohon bermaksud segera menikahkan anak para pemohon dikarenakan:


Antara anak Para Pemohon sudah berhubungan lama dan ingin segera menikah;


Anak Para Pemohon telah hamil 5 bulan;

Serta untuk mengantisipasi kemudharatan yang mungkin timbul dikemudian hari apabila tidak segera dinikahkan;


Bahwa, untuk kepentingan proses pernikahan, para pemohon dan keluarga telah mengurus administrasi dan pendaftaran rencana pernikahan anak Para Pemohon ke instansi terkait, akan tetapi pihak kantor urusan agama Kecamatan Minas, belum dapat menyelenggarakan pencatatan pernikahan keduanya dengan alasan anak para pemohon belum mencapai batas minimal usia perkawinan seorang perempuan yakni 19 tahun, karena yang bersangkutan baru berumur 17 tahun. Kantor urusan agama Kecamatan Minas mengeluarkan surat penolakan perkawinan untuk diajukan dispensai kepengadilan agama siak;


Bahwa, anak para pemohon tidak mempunyai hubungan darah, sepersusuan dan tidak ada larangan menurut agama islam untuk melakukan pernikahan;


Bahwa, anak para pemohon berstatus belum pernah menikah serta telah akil baligh dan sudah siap untuk berrumah tangga;


Bahwa, keluarga para pemohon telah merestui rencana pernikahan tersebut dan tidak ada pohak ketiga lainnya yang keberatan atas berlangsungnya pernikahan tersebut;


Bahwa, terhadap biaya perkara ini agar dibebankan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan;


Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Para Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Siak Sri Indrapura segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan penetapan dengan mengabulkan permohonan para pemohon.

  

Menurut penulis, sesuai amanat Undang-undang Perkawinan yang baru Nomor 16 Tahun 2019 juga memuat aturan mengenai dispensasi perkawinan yang berbeda dengan undang-undang perkawinan yang lama. Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun usianya belum mencapai batas minimal 19 tahun. Pada prinsipnya, seorang laki-laki dan seorang perempuan diizinkan menikah jika mereka sudah berusia 19 tahun ke atas. Jika ternyata keadaan menghendaki, perkawinan dapat dilangsungkan meskipun salah satu dari pasangan atau keduanya belum mencapai usia yang dimaksud, para pihak dapat mengesampingkan syarat minimal usia perkawinan. Menurut Undang-undang Perkawinan yang baru, penyimpangan hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai.


Putusan Pengadilan


Dasar hukum yang menjadi pertimbangan oleh hakim dalam memutus perkara dispensasi nikah ialah berdasarkan dalil-dalil dan bukti-bukti fakta yang dipenuhi oleh pemohon. Dasar hukum yang digunakan ialah mempertimbangkan ketentuan pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas  Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengharuskan meminta dispensasi ke pengadilan apabila pihak yang ingin menikah tidak memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan sebagai syarat perkawinan.


Hakim telah menemukan fakta, bahwa anak tersebut sudah hamil 5 bulan, karenanya hakim berpendapat kuat dugaan (ghalabat al-zhan) kedua calon pengantin tersebut akan lebih terjerumus melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan metode sadd al-dzariah (antisipatif atau preventif agar tidak terjadi pengulangan perbuatan zinaa) maka kedua calon mempelai tersebut patut diberi jalan untuk melaksanakan akad perkawinan.


Karena calon mempelai perempuan telah hamil 5 (lima) bulan maka hakim berpendapat ditemukan alasan yang sangat mendesak untuk memberi dispensasi nikah pada para pemohon.


Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dalil-dalil syarak yang berkaitan dengan perkara ini; Hakim Menetapkan, mengabulkan permohonan para pemohon dan memberikan dispensasi kepada anak kandung para pemohon untuk melaksanakan akad pernikahan tersebut. 


Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa permohonan dispensasi ini dikabulkan dengan tidak melanggar atau menyimpangi ketentuan Pasal 26 ayat 1 huruf (c) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang sekarang telah diubah dengan UU Nomor 35 tahun 2014, yang mana orangtua harus mencegah adanya perkawinan dini. Dan bukan untuk menghindarkan si pemohon dari tanggungjawab memelihara dan memberi kesempatan untuk tumbuh kembang kepada anak.


Menurut penulis, secara yuridis, hakim telah tepat dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah tersebut karena berlandaskan pada Undang-undang Perkawinan yang dijadikan dasar hukum sebagai pijakan untuk mengambil keputusan tersebut yang dalam Pasal 7 ayat (2) memperbolehkan seorang anak yang masih di bawah umur melangsungkan pernikahan dengan cara mengajukan dispensasi nikah. Walaupun undang-undang telah menentukan usia nikah bagi pria dan wanita setara 19 tahun, disisi lain pengadilan agama secara yuridis diberikan kewenangan dalam hal dispensasi nikah sebagai jalan keluar untuk mengatasi timbulnya kerusakan yang lebih besar dikemudian hari.


Selain daripada itu hakim juga telah mempertimbangkan ketentuan pasal 9 UU Nomor 4 tahun 1979, agar si pemohon menyatakan kesanggupannya untuk mengawal dan membimbing kedua anak tersebutsetelah menikah. Maka menurut Penulis, hakim telah menjalankan tugasnya dengan baik sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 Ayat (1) tentang kewajiban hakim yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dimasyarakat.


KESIMPULAN

Dispensasi kawin merupakan bentuk solusi penyimpangan terhadap batas umur perkawinan yang sudah seharusnya diajukan dengan alasan yang sangat mendesak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019. Ruh dari UU tersebut sebenarnya mencerminkan ketegasan terhadap upaya permohonan dispensasi kawin yang tidak boleh diajukan dengan sembarang alasan. Namun, ketiadaan penjelasan terhadap ketentuan tersebut membuat para hakim tidak memiliki pedomanyang standar. Hal ini memicu banyaknya permohonan dispensasi dengan berbagai macam alasan yang kurang urgen yang mengakibatkan legalnya perkawinan di bawah umur.


Pengaturan Dispensasi Perkawinan sudah sesuai dengan tujuan hukum islam sehingga perlu di sosialisasikan mengenai batas ketentuan umur yang telah ditetapkan dalam Undag-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Serta perlunya memperkenalkan ajaran agama islam kepada anak sejak dini, sehingga menjauhkan dari perbuatan yang kurang-kurang baik dan memberikan edukasi mengenai hubungan dengan lawan jenis. Dasar Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara dalam hal ini penetapan permohonan dispensasi perkawinan harus sesuai dengan tujuan perkawinan menurut hukum islam. Yaitu Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam. Serta demi tercapainya ke mashlahatan dan mengurangi ke madhratan serta melihat kepada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.


Standardisasi dispensasi kawin menjadi penting untuk dilakukan demi menekan angka perkawinan di bawah umur yang terus mengalami peningkatan. Limitisasi terhadap alasan diperbolehkannya dispensasi menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, permasalahan perkawinan di bawah umur bukan saja menjadi tugas hakim dan norma hukum, akan tetapi semua pihak harus bersinergi dalam mengurangi faktor atau penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur, terutama orang tua dalam menjalankan segala peran dan tanggung jawabnya.


REFERENSI 

Kompilasi Hukum Islam pasal 2.

Ahmad Tholabi Kharlie. 2013. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Zainuddin Ali. 2006. Hukum Perdata Islam di indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Ahmad Tholabi Kharlie. 2013. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 15

Rosnidar Sembiring. 2016. Hukum Keluarga, Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Ridwan Piliang. 2014. Perilaku Perkawinan Dalam Membangu Rumah Tangga, Medan: Perdana Publishing.

I Ketut Oka Setiawan. 2010. Hukum Perorangan dan Kebendaan, Jakarta: FH Utama Jakarta.

UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Zulfiani. 2017. Kajian Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Jurnal Hukum Samudera Keadilan Vol. 12 No. 2.  

Moch Nurcholis. 2019. Penyamaan Batas Usia perkawinan pria dan wanita perspektif Maqasid al-Usrah (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017), Jurnal Mahakim Vol. 3 No. 1.  

Meitria Syahadatina Noor. 2018. Klinik Dana Sebagai Upaya Pencegahan Pernikahan Dini. Yogyakarta: Penerbit CV Mine.  

Djamilah dan Reni Kartikawati. 2014. Dampak Perkawinan Anak di Indonesia, Jurnal Studi Pemuda, Vol. 3 No.1.  

Khoiruddin Nasution. 2013. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: Tazzafa dan Academia.  

Elsy Maisany. 2018. Pernikahan Dini, Negara Harus Selamatkan Generasi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia.  

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama