Oleh : I Nyoman Arto Suprapto (Dosen Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional, Denpasar)
Bali, (potretperistiwa.com) - Terbitnya Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan semangat baru dalam pembangunan desa sekaligus memberikan tantangan bagi Kepala Desa untuk membawa perubahan pada tatanan desa.
Hal ini karena Undang Undang Desa mengamanatkan Pemerintah Pusat untuk memberikan transfer dana (Dana Desa) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi sekaligus memberdayakan desa agar desa menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Harapannya Dana Desa ini bisa menjadi alat untuk menciptakan pembangunan dan pemberdayaan desa menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Hal ini tentu memberikan tantangan yang besar kepada pemerintah desa dimana mereka harus bisa secara mandiri menyusun perencanaan pembangunan desa dan perencanaan keuangannya.
Delapan tahun lamanya Undang Undang Desa sudah berjalan, namun belum banyak desa yang dapat memanfaatkan Dana Desa seoptimal mungkin untuk pembangunan ekonomi desa. Desa seolah-olah menjadi manja karena setiap operasional desa sudah dibiaya dari Pemerintah Pusat. Hal ini terlihat dari sedikitnya desa yang memiliki Pendapatan Asli Desa (PADes) yang bisa digunakan sebagai dana operasional desa dan pembangunan desa, dan terbatasnya alternatif ekonomi yang dapat disediakan desa pada generasi muda. Hal ini tentu tidak sejalan dengan tujuan digulirkannya Dana Desa tersebut.
Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) seharusnya bisa menjadi angin segar bagi desa untuk mulai berbenah dalam meningkatkan pendapatan desa melalui potensi yang ada. Melalui BUMDesa pemerintah desa bisa membentuk unit-unit usaha yang dapat dijadikan alat untuk mengembangkan dan mengelola potensi yang ada sekaligus sebagai media untuk peningkatan pendapatan desa, selain itu BUMDesa juga bisa menjadi ujung tombak pemasaran produk UMKM dan pertanian sehingga dapat memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat desa.
Salah satu unit usaha yang potensial dapat dikembangkan oleh BUMDesa adalah unit Desa Wisata. Seperti yang diungkapkan oleh Pitana dan Diarta (2009) bahwa sistem pariwisata sangat ditentukan oleh adanya perjalanan wisata, dimana daya tarik wisata adalah kunci bagi wisatawan yang mengakibatkan permintaan terhadap perjalanan wisata. Hamparan persawahan, nuansa pedesaan, karakter permukiman tradisional dan aktifitas budaya adalah bentuk-bentuk produk wisata unggulan yang dapat dijadikan daya tarik bagi wisatawan dalam kerangka Desa Wisata. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah bahwa kawasan yang memiliki potensi pertanian harus disinergikan dengan pengembangan wisata dengan pola pendekatan Desa Wisata yang berkelanjutan. Seperti yang diungkapkan Inskeep (1991) bahwa Desa Wisata adalah bentuk pariwisata dimana wisatawan dapat merasakan pengalaman pedesaan dengan merasakan secara langsung kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat, belajar tentang budaya setempat dan merasakan kondisi lingkungan setempat. Implementasi pengembangan Desa Wisata harus mampu memenuhi kebutuhan wisatawan yang mengintegrasikan antara daya tarik wisata, akomodasi wisata, dan fasilitas pendukung pariwisata yang diimplementasikan dalam bentuk struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Potensi ini seharusnya bisa ditangkap oleh BUMDesa sebagai salah satu rencana jangka panjang pengembangan ekonomi desa dan peningkatan pendapatan desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) sebagai induk desa mencoba mendorong pencapaian tujuan desa melalui satu program baru yang dikenal dengan Program Desa Cerdas yaitu program yang berusaha mendorong kreatifitas dan inovasi desa dalam meningkatkan potensi desa, optimalisasi pelayanan desa, dan peningkatan kesejahteraan melalui pendekatan transformasi digital yang muaranya adalah kemandirian desa. Desa cerdas berusaha mendorong pengembangan desa melalui 6 pilar desa cerdas yaitu 1) tata kelola cerdas, 2) ekonomi cerdas, 3) lingkungan cerdas, 4) masyarakat cerdas, 5) kehidupan cerdas, dan 6) mobilitas cerdas. Dalam konteks desa cerdas pengembangan ekonomi desa dapat didorong melalui BUMDesa dalam pilar ekonomi cerdas. Melalui transformasi digital potensi daya tarik Desa Wisata dapat dikemas secara digital baik diri sisi produk maupun dari sisi pemasaran. Sehingga literasi digital menjadi krusial untuk dilakukan pada pelaku-pelaku Desa Wisata baik dari sisi penyedia daya tarik wisata, masyarakat, pengelola BUMDesa dan pemerintah desa itu sendiri.
Transformasi digital Desa Wisata dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu 1) digitalisasi produk wisata; 2) digitalisasi pemasaran produk wisata dan 3) digitalisasi sistem pembayaran. Digitalisasi produk wisata dilakukan dengan mendorong pembuatan website Desa Wisata agar setiap produk wisata dapat dimunculkan dan dapat dijangkau oleh wisatawan. Selain itu produk wisata harus sudah terkoneksi satu sama lain dalam bentuk peta digital Desa Wisata yang menggabarkan persebaran daya tarik wisata, fasilitas pariwisata, dan konektifitasnya. Dengan demikian wisatawan dapat dengan mudah mendapatkan informasi terkait dengan produk wisata yang ditawarkan oleh masing-masing Desa Wisata. Digitalisasi produk wisata juga dapat dilakukan dengan membuat video produk wisata unggulan baik itu dalam bentuk daya tarik wisata, keunikan kuliner desa, atau kekayaan budaya dan atraksi budaya di masing-masing Desa Wisata yang nantinnya dapat didorong menjadi produk virtual tour masing-masing Desa Wisata. Digitalisasi pemasaran produk wisata adalah bentuk pemasaran yang dilakukan secara digital baik itu melalui website, sosial media, google ads atau bahkan dengan pendekatan teknologi blockchain seperti NFT. Penggunaan media-media tersebut dilakukan untuk memudahkan menjangkau wisatawan dengan berbagai cara dengan biaya yang murah dan efisien. Digitalisasi sistem pembayaran merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk memudahkan pengelolaan dan pertanggung jawaban pendapatan Desa Wisata. Sistem pembayaran digital memberikan ruang transparansi yang lebih baik dibandingkan dengan model pembayaran konvensional. Hal ini dikarenakan setiap pembayaran digital akan terekam secara digital sehingga potensi untuk penyalahgunaan dan manipulasi keuangan sangat minim dapat dilakukan.
Dengan demikian pendekatan digital dalam membangun ekonomi desa merupakan salah satu alternatif yang harus dilakukan oleh pemerintah desa dalam rangka mewujudkan tujuan desa yang diamanatkan oleh Undang Undang Desa. Kolaborasi antar stakeholder intra desa (pemerintah desa, BUMDesa, dan Desa Wisata) dengan staholder supra desa (pendamping desa cerdas dan jejaring desa cerdas) adalah kunci dalam membangun desa dan mengoptimalkan potensi desa dalam upaya pengembangan ekonomi desa yang dapat dimulai dengan penyamaan persepsi antar stakeholder dalam memandang dan membangun desa. Sehingga tujuan pemerintah untuk membangun Negara Indonesia dari pinggiran (desa) benar-benar dapat dimulai dari desa melalaui kolaborasi antara Desa Wisata, BUMDesa dan Desa Cerdas.
Posting Komentar