“The Power of Domestic Market” – Strategi Pemulihan Pariwisata Bali


Oleh : Febianti (Dosen Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional, Denpasar) 


Bali, (potretperistiwa.com) - Virus Covid – 19  telah menyerang dunia sejak akhir 2019 hingga kini. Penyebaran virus yang sangat cepat serta mutasi virus yang terus menerus mengakibatkan banyak kerugian bagi perekonomian dunia. Tidak terkecuali dengan sektor pariwisata. Bahkan, dampak pandemi ini sangat besar dampaknya.


Pariwisata di Indonesia, khususnya Bali, sangat tergantung dari wisatawan mancanegara. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, banyak didominasi oleh wisatawan Australia, China, Malaysia, Prancis, dan Negara lainnya. Pariwisata Bali yang sudah berkembang sejak lama,  pernah beberapa kali mengalami penurunan kunjungan. Diantaranya saat peristiwa Bom Bali 1 (2002), Bom Bali 2 (2005), peristiwa gunung meletus dan saat ini adalah pandemi covid 19. Beberapa kali pula pariwisata bali bangkit dan berhasil melewati penurunan tersebut. Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, tingkat pengangguran meningkat tajam dari 1,19% di tahun 2019 menjadi 5,39% di tahun 2021.


Berdasarkan teori Maslow, kebutuhan paling dasar manusia adalah kebutuhan fisiologis. Apabila kebutuhan paling dasar sudah terpenuhi, maka barulah manusia memenuhi kebutuhan di atasnya. Sehingga berdasarkan teori tersebut, kegiatan berpariwisata merupakan kegiatan yang belum terperioritaskan. Namun, apakah pariwisata tidak diperlukan? Tentu saja tidak, manusia sebagai makhluk sosial, selain memerlukan interaksi dengan sesamanya, juga memerlukan suasana berbeda dari kesehariannya. Tingginya kepenatan dan kejenuhan masyarakat saat work from home dan school from home memicu munculnya istilah “healing” yang marak di media sosial. Pariwisata, yang secara umum bersifat menghibur dengan melakukan perjalanan, baik itu ke luar negeri, dalam negeri, maupun di wilayah tertentu saja, dapat menjadi “obat” kejenuhan dan gangguan psikologis bagi seseorang karena tekanan situasi pandemi.


Pariwisata dengan konsep alam terbuka dengan aktivitas yang menyehatkan seperti bersepeda melewati pemandangan yang indah, mountain hiking, trekking di areal persawahan, hingga snorkeling menjadi beberapa pilihan aktivitas yang digemari di masa pandemi. Namun, sebelum pandemi, banyak sektor pariwisata alam di Bali lebih mentargetkan pada pasar wisatawan asing, terutama Eropa dan Australia. Segmentasi geografis ini bukan berarti tanpa pertimbangan, tetapi karena mengacu pada perilaku konsumen yang dipilih.


Selama pandemi, banyak Negara yang memutuskan untuk menutup bordernya untuk pariwisata, baik bagi wisatawan yang datang maupun bagi warga negaranya yang akan bepergian ke wilayah tertentu. Sehingga hal ini merupakan momentum bagi para pelaku usaha agar mengevaluasi kembali target pasarnya. Evaluasi target pasar ini, bukan sekadar “banting setir” untuk mencari pelanggan, namun juga mengevaluasi perilaku konsumen tersebut. Apakah produk tersebut sudah sesuai dengan target pasarnya? Apa saja yang diperlukan wisatawan tersebut dan apa saja yang mereka sukai dan tidak sukai? Bagaimana dengan harga jual yang tepat? Bagaimana mengkomunikasikan produk agar informasinya sampai ke pelanggan yang diharapkan? Tentu saja pertanyaan ini menjadi dasar bagi para pelaku usaha untuk dapat mempertahankan bisnisnya. 


Bercermin dari Peristiwa Bom Bali 1 dan 2, pariwisata mengalami penurunan karena adanya travel warning dari Negara-negara lain. Pada saat itu, banyak usaha yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat asing terhadap keamanan di Indonesia, khususnya di Bali. Berbagai acara diselenggarakan, dan keamanan di berbagai lini terus ditingkatkan. Pariwisata bangkit perlahan-lahan diawali dengan kedatangan wisatawan domestik, yaitu wisatawan nusantara. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka sudah saatnya Pariwisata Bali lebih mentargetkan wisatawan nusantara, bahkan wisatawan lokal,yaitu masyarakat Bali sendiri yang bepergian di wilayahnya. Masyarakat Indonesia dari tingkat ekonomi menengah, banyak yang mampu bepergian ke luar negeri. Ketika border mancanegara ditutup, tentunya kelompok ini tidak bisa kemana-mana dan mencari tempat berwisata alternatif yang aman dan nyaman bagi mereka. Segmen ini banyak didominasi oleh pasar wisatawan millennial dan sangat bisa menjadi solusi pemulihan pariwisata Bali saat ini. 


Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama