Ketum LSM KPH-PL Desak Lengkapi Regulasi Cegah Potensi KKN Dilingkungan MA-RI


Riau, (potretperistiwa.com) - Peneliti dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Peduli Hukum dan Penyelamatan Lingkungan (KPH –PL) menemukan adanya kekosongan Hukum, didalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia, memperhatikan pada pasal 53 dan pasal 57 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Majelis yang memutuskan perkara (putusan kasasi dan atau putusan peninjauan kembali) diberikan kepada para pihak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari, setelah putusan tersebut diterima oleh pengadilan tingkat pertama.


Naaah,,! disini lah terlihat dengan jelas bahwa adanya kekosongan hukum didalam pasal 53 dan pasal 57 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Majelis yang memutuskan perkara (putusan kasasi atau putusan peninjauan kembali) tidak di temukan adanya Regulasi yang berbunyi tentang jangka waktu berapa lama selambat-lambatnya putusan diberikan kepada para pihak oleh mahkamah agung setelah putusan tersebut, dan tidak ditemukannya regulasi yang berbunyi jangka waktu berapa lama setelah putusan tersebut mahkamah agung langsung menyampaikan kepada pengadilan tingkat pertama, disini lah yang timbul dugaan potensi Korupsi Kolusi dan Nepotisme antara pencari keadilan dengan oknum-oknum petugas di lingkugan Mahkamah Agung Republik Indonesia.


Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Peduli Hukum dan Penyelamatan Lingkungan. (KPH –PL) Amir Muthalib Yang didampingi oleh Dosen, Adv. Akkel Fernando SH., MH. dan Adv. Yusri Dahlan, SH. pada kamis 24//03/22 di ruang kerjanya menyampaikan kepada media ini, dalam hal kekosongan hukum ini, kami mendesak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk segera membuat, membentuk dan menyusun serta menetapkan Regulasi Rentang Waktu penyerahan berkas salinan putusan dari Makamah Agung kepada para pihak melalui Pengadilan Tingkat Pertama, Demi mencegah timbulnya potensi Korupsi Kulosi dan Nepotisme (KKN) di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia.


hal itu juga sesuai dengan semangat Undang-undang Nomor  11 Tahun 1980 Tentang Pidana Suap dan Undang-undang Nomor  48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. serta Undang-undang Nomor  7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi PBB Menentang Korupsi) yang dperkuat oleh Inpres Nomor  9 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. juga didukung oleh Nota Kesepahaman Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pasal 3 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) Nomor : SPJ-25/01-55/01/2012. Nomor : M.HH-03.HM.05.02. yang di tanda tangani bersama pada hari senin tanggal 9 / 01 / 2012. Reformasi Peradilan Meningkatkan Kekuatan Indonesia dalam Memerangi Korupsi, Peran Mahkamah Agung dalam memberantas korupsi di Indonesia, untuk membuat integritas dan akuntabilitas lembaga peradilan mahkamah agung republik indonesia.


Masih menurut Ketua Umum LSM. KPH-PL, Hakikat Pemberantasan Korupsi sebagai Extra Ordinary Crime,” Mari bersama kita tela’ah kembali semangat  Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Untuk memenuhi hak konstitusi bisa kita lihat pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan batang tubuh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999  Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang  Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor. akibat kekosongan hukum tersebut, Masyarakat anti korupsi wajib mendesak ketua mahkamah agung untuk melengkapi Regulasi Jangka Waktu Penyerahan Berkas Salinan Putusan Perkara dari MA ke pengadilan tingkat pertama tersebut himbaunya lagi.****


Sumber : LSM KPH - PL

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama