Lampung, (Potretperistiwa.com) - Temuan Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah laut Teluk Pesawaran, Teluk Bandar Lampung, dan Teluk Semangka, Tanggamus, kembali memunculkan kritik terhadap pengelolaan pertanahan di Lampung. Saprudin Tanjung, Ketua Aliansi Masyarakat Pesawaran, dan Madin Asyaif, aktivis agraria di Lampung, menilai pengawasan BPN Kabupaten dan Kanwil ATR/BPN Provinsi Lampung lemah sehingga persoalan seperti ini terus terjadi.
“Keberadaan HGB di laut ini menunjukkan lemahnya pengawasan dari BPN Pesawaran dan Kanwil ATR/BPN Lampung. Bagaimana mungkin sertifikat dikeluarkan untuk wilayah yang jelas-jelas merupakan laut? Ini harus segera diusut tuntas,” ujar Saprudin Tanjung, Jumat (24/1/2025).
Saprudin juga menyebut bahwa persoalan ini berpotensi merugikan masyarakat pesisir, yang bergantung pada akses terhadap sumber daya laut. Ia meminta Menteri ATR/BPN dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menyelidiki adanya dugaan penyimpangan dalam penerbitan sertifikat tersebut.
“Kami mendesak pemerintah untuk membatalkan semua HGB yang ditemukan di wilayah laut dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja BPN, terutama di Pesawaran dan Kanwil ATR/BPN Provinsi Lampung,” tegasnya.
Senada dengan itu, Madin Asyaif menilai persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai masalah agraria lainnya di Lampung, termasuk soal Hak Guna Usaha (HGU) PTPN 1 Regional 7 Unit Usaha Way Berulu.
“Kasus HGU PTPN 1 Regional 7 Way Berulu menjadi bukti bahwa transparansi di BPN Pesawaran dan Kanwil ATR/BPN Lampung sangat buruk. Hingga saat ini, mereka belum mampu menunjukkan peta persil yang seharusnya menjadi bagian tak terpisah kan dari SHGU, masak iya Sertifikat nggak ada peta nya. Ada dugaan kuat bahwa ini adalah hasil kongkalikong,” kata Madin.
Ia juga mengkritik Kepala BPN Pesawaran, Sri Rejeki, yang dinilainya sering tidak konsisten dalam menangani persoalan agraria. Menurut Madin, tindakan tegas perlu diambil untuk membenahi tata kelola pertanahan, baik di tingkat Kabupaten maupun Provinsi.
“Kinerja Sri Rejeki dan Kanwil ATR/BPN Lampung patut dipertanyakan, dipersoalkan dan dievakuasi Ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi menyangkut kepercayaan publik terhadap institusi negara, yang terkesan tidak becus dalam tata kelola pertanahan” ujarnya.
Masalah ini bukan hanya soal keabsahan sertifikat, tetapi juga soal masa depan tata kelola agraria dan ruang laut kita. Jangan biarkan praktik-praktik kotor ini terus berlangsung dan merugikan masyarakat luas.
“Masyarakat perlu tahu siapa saja yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. APH harus turun tangan untuk membongkar jaringan mafia tanah yang bermain dalam penerbitan sertifikat ilegal dan persoalan agraria seperti HGU PTPN,” ujar Madin.
Saprudin dan Madin sama-sama mendesak Menteri ATR/BPN untuk segera mengevaluasi kinerja pejabat terkait, serta melakukan reformasi menyeluruh di tubuh BPN, agar Mafia-mafia Tanah di tubuh ATR/BPN terungkap. Selain itu, mereka meminta agar seluruh dokumen terkait HGB di laut Lampung segera diperiksa dan diumumkan ke publik.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, telah menegaskan bahwa penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) di atas area laut adalah ilegal. Namun, temuan di Lampung ini menambah daftar panjang kasus serupa yang sebelumnya juga ditemukan di Tangerang dan Surabaya.
Masyarakat berharap agar pemerintah tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan persoalan ini. Dengan banyaknya sorotan, kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pertanahan di Lampung.*** (lilis)
Posting Komentar